CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Wednesday, April 8, 2009

IMAM

Definisi Imam

Imam merupakan satu dari sekian sebutan terhadap istilah pemimpin dalam Islam. Selain Imam, kita juga mengenal istilah Khalifah, Amir, Sulthah, Ulul Amri, dan Imarah. Lazimnya imam mengimani shalat atau sebagai pakar tentang agama dalam sebuah Negara Islam. Imam juga dapat didefinisikan sebagai Imam yang mampu mengimani ummat dengan kematangan dan kemampuan ilmunya. Walau bagaimanapun Imam juga menunjukkan bimbingan kepada kabaikan, meskipun kadang-kadang dipakai untuk seorang pemimpim suatu kaum dalam arti yang tidak baik seperti fiman Allah:

Artinya;

“….Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu…..” (Surah at-Taubah : 12)

Artimya;

“dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Surah al-Qashash : 41)

Ayat ini menunjukkan Imam sebagai ikutan baik disebut di dalam firman berikut dalam firman Allah:

Artinya;

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh.” (Surah Yaasin : 12)

Imamah menurut beberapa pendapat

v Al-Mawardi mengatakan bahwa “ Imamah adalah suatu kedudukan / jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.”

v Abu Yusuf menyitir pendapat Ibnu Khaldun tentang definisi khilafah disamakan dengan imamah yaitu; “Al-khilafah membawa / memimpin masyarakat sesuai dengan kehendak agama dalam memenuhi kemaslahatan akhiratnya dan dunianya yang kembali kepada keakhiratan itu, karena hal ihwal keduniaan kembali seluruhnya menurut Allah untuk kemaslahatan akhirat. Maka kekhilafahan itu adalah dari pemilik syara di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.”

Dari definisi diatas jelas bahwa;

1. Ahlusunnah menyamakan pengertian imamah dan khalifah

2. Tampak jelas bahwa para ulama mendahulukan masalah-masalah agama dan memelihara agama ketimbang persoalan duniawi.

Syarat-syarat menjadi Imam

Menjadi imam atau kepala negara dalam Islam merupakan tugas yang sangat berat bagi seseorang, karena ia mesti bertanggung jawab terhadap semua rakyatnya dan sekaligus wilayah kepimpinannya. Karena ituIslam tidak mengizinkan sembarang orang menduduki posisi imam atau kepala Negara, ia harus orang yang berilmu, beraklaq, bertanggung jawab dan sebagainya. Imam al-Mawardi memberikan beberapa syarat bagi seorang imam yang memimpin sebuah Negara dalam Islam:

1. Keadilan (al-‘adalah).

2. Mempunyai ilmu (al-ilm).

3. Sempurna panca indera (salamah al-hawass).

4. Sunyidari sebarang kecacatan anggota (salamah al-‘ada).

5. Mempunyai ide yang bisa menolongnya dalam memimpin rakyat serta mengurus kepentingan Negara.

6. Mempunyai keberanian serta kekuatan (al-saja’ah wa al-najdah).

7. Berketurunan mulia (al-nasab).

Ada juga ulama yang berpendapat seorang pemimpin harus memiliki syarat-syarat berikut;

1. Ia harus dewasa (baligh).

2. Harus orang laki-laki.

3. Harus orang muslim

4. Harus progresif dalam setiap urusannya.

5. Mendahulukan orang yang bertaqwa kepada Allah.


Pelantikan Imam Dan Hak-haknya

Kebanyakkan ulama kalangan Ahlusunnah wal jama’ah menyatakan bahwa pelantikan pemimpin (khalifah) hendaklah berdasarkan pemilihan (al-ikhtiar) baik pemilihan oleh semua rakyat ataupun melaui sistem perwakilan yang meraka wujudkan. Pada masa awal Islam sistem perwakilan dkenal dengan sebutan ahlul halli wal ‘aqdi. Menurut Imam Mawardi pemilihan tersebut merujuk kepada dua sistem yaitu:

1. Pemimpin harus dipilih oleh ahlul halli wal ‘aqdi dengan persetujuan mayoritas majlis tersebut.

2. Pemimpin boleh ditunjukkan oleh pemimpin terdahulu dan diikuti dengan bai’ah oleh seluruh rakyat.

Ahlulsunnah waljama’ah telah mendasarkan bahwa pelantikan imam kepada konsep syura yang merupakan suatu penyelesaian masalah yang berkaitan dengan kepentingan ummat islam.


Hak-hak imam

Al-Mawardi menyebut dua hak imam yaitu, hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu.

Baruddin Ibn Jama’ah menjelaskan sepuluh hak imam yaitu:

1. Hak mendapatkan kepatuhan rakyat terhadapnya.

2. Hakmemperoleh nasihat baik secara diam-diam atau secara terang terangan.

3. Hak mendapatkan bantuan.

4. Hak mendapatkan penghormatan.

5. Hak mendapatkan pemeliharaan / pengawalan dari ancaman musuh yang bermaksud jahat.

6. Hak mendapatkan laporan tentang pekerjaan para bawahannya.

7. Hak mendapat teguran jika terlupa dan menunjukkan jalan yang benar jika ia menyimpang.

8. Hak ,mendapatkan bantuan dalam beban tugasnya menyelenggarakan kemaslahatan ummat dengan segala kemampuan.

9. Hak mendapatkan kecintaan manusia terhadapnya.

10. Hak mendapatkan pemeliharaan baik dengan perkataan, perbuatan, harta maupun jiwa dari rakyat, baik lahir maupun batin, diam-diam atau terang-terangan.

Tugas, Kewajiban Dan Tanggung Jawab Imam

Khalifah harus mengurus urusan Negara Islam dengan syura, untuk maksud tersebut khulafah melalui syura bisa menciptakan lagi sebuah sistem konsultasi yang didasarkan kepada sebuah parlemen, penasehat pribadi, presiden, perdana menteri, kabinet, menteri-menteri untuk mengurus kantor-kantor Negara atas kepentingannya, pemerintahan propinsi dan kabupaten, dan instansi-instansi terendah lainnya.

Islam sebagai agama amal adalah sangat wajar apabila meletakkan focus of intrestnya pada kewajiban. Hak itu sendiri datang apabila kewajiban telah dilaksanakan secara baik. Bahwa kebahagiaan hidup di akhirat akan diperolehi apabila kewajiban-kewajiban sebagai menifestasi dari ketaqwaan telah dilaksanakan dengan baik waktu hidup di dunia. Kewajiban menurut Al-Mawardi adalah:

1. Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah ditetapkan.

2. Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan.

3. Memelihara dan menjaga keamanan.

4. Menegakkan hukum-hukum Allah.

5. Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup.

6. Memerangi orang yang menentang Islam.

7. Memungut fa’I dan sedekah-sedekah sesuai dengan ketentuan syara.

8. Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang berhak menerimanya dari baitulmal.

9. Menggunakan orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur didalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan Negara kepada mereka.

10. Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.

Contoh Tauladan Pemimpin Islam

Contoh tauladan di bawah kepimpinan Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam adalah satu contoh ikutan para-para Khulafa' Al-Rasyidun dan pemimpin selepas daripada Khulafa' yang empat itu. Mereka tidak mendabik dada, merasa bahawa diri mereka suci daripada segala dosa. Dengan jawatan yang mereka jawati itu, tidak pula dengan secara automatik, semua anak cucu, kaum kerabat mereka tidak dikecualikan dari sebarang undang-undang syara', Malahan tidak suatu pun kemewahan yang mereka perolehi jika hendak dibandingkan dengan rakyat jelata semua. Abu Bakar radiyallahu 'ann selepas sahaja beliau dilantik menjadi khalifah, maka dengan terus-terang ia menjelaskan kepada rakyat jelata dengan katanya;

Maksudnya:

"Saya telah dilantik untuk memimpin kamu semua, dan saya bukanlah orang yang paling mulia jika hendak dibandingkan dengan kamu semua. Maka, andainya saya masih menjalankan tugas dengan betul, berilah kerjasama dan bantulah saya. Andai saya tersalah, maka tolonglah betulkan."

Saya kira inilah suatu keterangan lengkap lagi padat yang melambangkan identitas seorang pemimpin kepada negara Islam. Jadi, dengan penjelasan Abu Bakar radiyallahu 'anhu itu juga membuktikan bahawa negara Islam bukanlah hak milik individu yang tertentu, seperti mana sebuah kerajaan yang telah dimonopoli oleh padri-padri gereja dan pengikut-pengikut padri pada pertengahan abad kurun yang lampau, di mana kedudukan padri-padri gereja lebih istimewa dan jauh berbeza dari rakyat jelata! Seterusnya pula, apabila sampai sahaja kependengaran suri-suri rumahtangga yang berjiran dengan Abu Bakar radiyalla-hu 'anhu tentang beliau dilantik menjadi

khalifah, lalu mereka mengeluh, "Apalah nasib kita, siapa lagi yang boleh diharapkan untuk membekalkan susu kepada kita semua setelah Abu Bakar menjadi khalifah...!" (kerana sebelum menjadi khalifah Sayyidi"na Abu Bakar selalu memberi mereka susu). Jawab Abu Bakar radiyaLlahu 'anhu, "Di masa saya menjadi khalifah ini, identiti saya tak ubahlah bagaimana sebelum saya menjawati jawatan ini. Saya akan teruskan usaha untuk membekalkan susu kepada kamu semua." Inikah dia contoh, yang dikatakan sebagai seorang pemimpin yang menciptakan berbagai-bagai akta undang-undang keselamatan dalam negeri, mengubah dan meminda perlembagaan undang-undang mengikut sekehendak hati! ? Apakah ini sebuah kerajaan yang pemimpin-pemimpinnya mencanang dan melaungkan slogan penerapan nilai-nilai Islam, yang mereka canai dan ubah-suaikan hingga terpisah 'aqidah dari syari'at Allah SubhanahuWata'ala!"?

Contoh kepimpinan Islam diperlihatkan pula oleh 'Umar Bin Al-Khattab radiyaLlahu 'anhu, iaitu khalifah yang kedua selepas daripada Abu Bakar radiyaLlahu 'anhu. Setelah jawatan khalifah dipegang oleh 'Umar, lalu beliau menjelaskan sikapnya sebagai seorang pemimpin kepada rakyat jelatanya. Dia dengan rasa rendah diri meminta semua rakyat jelata yang berada di bawah pimpinannya supaya membuat teguran dan nasihat, jika mereka dapati dia bersalah. Salah seorang rakyat jelata yang berada di hadapan 'Umar pada masa itu juga bingkas bangun dengan pedang yang terhunus di tangannya, seraya berkata, "Sekiranya kami dapati kamu menyeleweng, nescaya kami akan tegak dengan pedang kami ini." Walaupun nasihat itu terlalu keras dan di luar

kesopanan, namun 'Umar sebagai seorang pemimpin umat Islam menerima nasihat tadi dengan dada yang terbuka, Dia tidak berasa marah, tidak pula berdendam hati dan menangkap orang yang memberi nasihat itu. Malahan dia dengan berlapang dada menjawab, Maksudnya:

Segala pujian hanyaiah bagi Allah yang menjadikan dikalangan umat Muhammad ini rakyat yang sanggup membetuli kesalahan 'Umar dengan pedangnya."

Apakah ini contoh yang dinamakan sebuah negara penerapan nilai-nilai agama, sebagaimana yang kamu semua canang-canangkan, yang kamu semua pula takut dengan kedudukan dan kerusi masing-masing? Atau pun, mengikut fakta-fakta sejarah yang kamu terbaca bahawa negara Islam pada masa pemerintahan Khulafa' Ar-Rasyidin sama seperti sebuah negara yang diperintah oleh golongan gereja pada pertengahan abad yang lampau juga, Oleh itu, mengikut khayalan dan impian kamu bahawa sebuah negara yang menjalankan syari'at Allah samalah juga dengan sebuah negara yang cuba membuat beberapa penerapan nilai-nilai agama di dalam sektor pemerintahan!? Sesungguhnya, kamu tidak sewajarnya mengeksploitasikan sejarah Islam untuk disamakan dengan sebuah negara pemerintahan Gereja!! Saya tidak ingin lihat pemimpin yang cuba dengan sengaja mengaburi dan merabuni mata-mata rakyat dengan mengatakan, bahawa Negara yang menjalan syari'at Allah itu, saling tak tumpah dengan sebuah negara yang berslogankan "Penerapan nilai-nilai agama"!

Selepas Abu Bakar dan 'Umar, Sayyidina 'Uthman bin 'Affan pula tampil ke hadapan menjadi khalifah. Di saat-saat akhir pemerintahannya berlaku ketegangan politik, di mana orang-orang yang baru memeluk Islam datang dari jauh mengepung rumah 'Uthman Bin 'Affan. Beberapa orang sahabat datang menawarkan diri masing-masing untuk menjadi pengawal dan menggempur golongan-golongan pemberontak yang mengepung rumah khalifah. Sayangnya Sayyidina *Uthman menolak permintaan beberapa orang sahabat tadi dan beliau berserah kepada rakyat mengikut kemahuan mereka. Inilah dia seorang lagi contoh pemimpin Islam. Di saat-saat jiwanya terancam, dia tidak pula memerintah sahabat-sahabatnya memerangi golongan yang menentangnya, malahan dia rela jiwanya terkorban demi untuk memelihara perpaduan ummah. Dia tidak rela kerana dirinya rakyat bermandikan darah sesama mereka. Inikah dia, buat masa ini yang dinamakan negara penerapan dengan nilai-nilai Islam sedangkan pemimpin-pemimpin ini sendiri takut untuk menjalankan pemerintahan negara mengikut Al-Qur'an dan Al-Sunnah!? Pernahkah kamu dapati seorang pemimpin di dunia buat masa ini, sikapnya dengan rakyat, sebagaimana Sayyidina 'Uthman bersikap dengan rakyatnya? Kenapakah pemimpin-pemimpin negara umat Islam di hari ini terlalu fanatik dan gila kuasa, hinggakan mereka sanggup berdolak-dalih. Bersikap pragmatik dalam politik dengan tujuan untuk berselindung disebalik slogan dan penempelan sudut kerohanian dari melaksanakan syari'at Allah. Inilah dia slogan-slogan yang belum pernah dikenali dan tercatat di dalam sejarah Islam!

Dengan syahidnya Sayyidina 'Uthman, Sayyidina 'Ali tampil ke hadapan memegang teraju pemerintahan. Selang tidak beberapa lama, beliau pula ditikam oleh salah seorang daripada golongan yang fanatik. Kaum kerabat Sayyidina 'Ali telah bermuafakat untuk mengambil tindakan balas. Tetapi, Sayyidina 'Ali menyanggah di atas pakatan sanak saudaranya itu. Dia berpesan kepada mereka jika sekiranya ia sembuh maka hukumlah orang yang menikamnya itu dan jika sekiranya dia meninggal dunia, laksanakanlah syari'at Allah ke atas orang yang membunuhnya dan janganlah memendam perasaan dendam mendendam. Lihatlah sebuah kerajaan Islam yang memerintah rakyat jelata mengikut syari'at Allah! Apakah pemimpin yang semulia Sayyidina 'Ali (radiyallahu 'anhu), pun kamu menolaknya sehingga tidak mahu membuat contoh tauladan? Apahal pula dengan adanya pemimpin-pemimpin umat Islam, yang mana mereka sendiri membuat drama, kononnya terdapat segolongan umat Islam yang exstrim, yang cuba untuk membunuh mereka! Propaganda ini diada-adakan semata-mata untuk membolehkan mereka menjadikan alasan bagi menghalalkan tindakan mereka menangkap para 'alim 'ulama' dan belia-belia Islam secara beramai-ramai, untuk disumbat ke dalam penjara dan diseksa dengan kejam, melampaui batas-batas peri kemanusiaan!!

Dalam pada itu pun pemimpin-pemimpin sekarang (yang mewarisi kezaliman) masih mengadakan pesta temasya sebagai mengenangkan jasa pada hari jadi atau kematian pemimpin serupa itu! Inikah yang dikatakan suatu penghargaan dari intelektual di zaman sekarang? Saya tidak mengerti. Adakah dengan slogan penerapan nilai-nilai Agama ini merupakan suatu polisi dari pihak pemerintah, hingga terpaksa mereka membisukan dahulu ciri-ciri dan dasar sistem negara Islam? Apakah pula yang dimaksudkan dengan penerapan itu? Apa bahaya yang mengancam sampai terpaksa mereka berselindung di sebalik slogan ini? Sepanjang sejarah Islam belum pernah dikenali tentang penerapan nilai-nilai agama. Justru itu, kenapakah bila sahaja bangun segolongan umat Islam menyeru pihak pemerintah supaya menjalankan hukum-hakam Allah Subhanahu Wata'ala, lantas pihak yang berkuasa berusaha melebelkan dengan isu penerapan nilainilai Islam? Pemimpin-pemimpin sekarang ini terdiri dari cerdik pandai dan orang yang berilmu, oleh itu sepatutnyalah mereka menjelaskan kepada rakyat jelata apa yang mereka maksudkan dengan negara penerapan itu? Adakah sesebuah negara yang menJalankan undang-undang Syari'ah boleh disamakan atau dinamakannya sebuah kerajaan Islamisasi? Pihak pemerintah hendaklah berterus-terang. Semuga dengan keterangan yang jelas kita semua berpuas hati, atau cuba berpuas-hati dan samasamamencari jalan bagi mengatasi setiap protes dan titik-bengek yangditimbulkan oleh setiap golongan umat Islam.

PENUTUP

Imam merupakan tugas yang berat, ia juga adalah kepercayaan ramai yang di berikan kepada pemimpin mereka yang boleh membawa keamanan kepada rakyat jelata. Yang penting imam harus menjaga dan melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan hak asasi manusia, seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat, hak mendapatkan penghasilan yang layak melalui kasb al-halal, hak beragama, dan lain-lain sesuai dengan telah ditetapkan di dalam Al-Quran dan Hadis. Karena imam itu kelak akan dipersoalkan di akhirat tentang tugasnya sewaktu di dunia dahulu adakah ia berlaku adil atau sebaliknya maka ia akan menerima ganjaran sesuai dengan apa yang telah dikerjakan.

DAFTAR BACAAN


Prof. H. A. Djazuli, FIQH SIYASAH, Jakarta : Prenada Media Group, 2003.

Hasanuddin Yusuf Adan, ELEMEN-ELEMEN POLITIK ISLAM, Yogyakarta : AK Group Yogyakarta, 2006.

Prof. Dr. Abdul Muin Salim, FIQH SIYASAH KONSEPSI KEKUASAAN POLITIK DALAM AL-QUR’AN, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., FIQH SIYASAH Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Sayid Muhammad Baqir ash-Shadir, SISTEM POLITIK ISLAM SEBUAH PENGANTAR, Jakarta : Lentera, 2001.

MaHaBBaH